
Saya Milik Siapa atau Bagian Dari Apa?
Pertanyaan eksistensial tentang identitas diri memang bagian dari desain Bapa ketika menciptakan manusia. Orang tua mendapat hak istimewa untuk mengajarkan anak-anak di mana nilai sejati ditemukan, hanya di dalam Yesus Kristus.
Sarah Walton berbagi ceritanya yang ditulis untuk Crossway.
Tidak peduli apa yang telah kamu lakukan atau seberapa jauh kamu telah melangkah, Aku akan selalu mengasihi kamu dengan kasih yang tidak pernah berakhir.
Kata-kata itu mungkin tidak terdengar jelas, tetapi tidak dapat disangkal-tidak diragukan lagi, kata-kata itu berasal dari Kitab Suci yang telah berakar selama bertahun-tahun.
Ketika saya duduk sendirian di ruangan putih yang gelap di bangsal psikiatri anak sebagai seorang remaja, kata-kata pengharapan ini menerobos kebisingan yang memekakkan telinga karena rasa sakit, rasa tidak aman, dan rasa malu. Saya mungkin telah mencapai titik terendah, tetapi di titik terendah, saya menemukan Yesus.
Dengan kasih karunia-Nya, Bapa menggunakan masa itu untuk membuka mata saya pada kebenaran bahwa nilai, identitas, dan sukacita sejati saya tidak ditemukan dalam diri saya sendiri atau dunia, melainkan hanya di dalam Kristus. Hal ini tidak hanya mengubah lintasan hidup saya, tetapi juga membentuk cara saya mengasuh anak-anak saya. Selama bertahun-tahun, saya telah melihat “identitas yang keliru” yang sama muncul melalui banyak pergumulan yang dialami anak-anak saya.
Mencari Identitas dan Harga Diri
Di dalam hati setiap anak kita terdapat lubang yang menganga. Mereka rindu untuk diisi dan rindu untuk dikenal dan dikasihi-seperti yang dialami oleh kakak dan adik dalam kisah Alkitab tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32).
Perumpamaan ini menunjukkan dua cara utama hati kita mencari pemenuhan dan nilai yang terpisah dari Bapa Surgawi. Salah satunya adalah dengan mengejarnya di luar diri kita; yang lainnya adalah dengan melihat ke dalam.
Meskipun cara kerja luar dari hati saudara-saudara itu mungkin terlihat berbeda, motivasinya sama: keinginan untuk memiliki, kerinduan akan pemenuhan, dan kebutuhan akan kebahagiaan.
Jika kita melihat ke bawah permukaan emosi, keinginan, perjuangan, kebanggaan, dan rasa tidak aman anak-anak, parents akan melihat motivasi yang sama di tempat kerja. Apakah mereka cenderung melihat ke dalam diri mereka sendiri untuk mencari nilai atau di dunia di sekitar mereka, masalah hati tetap sama. Keduanya mengandung benang merah dosa kemandirian yang terjalin dengan kerinduan yang diberikan Bapa untuk dikenal, dikasihi, dan dipuaskan oleh Dia yang menciptakan mereka.
Selama bertahun-tahun, banyak tantangan yang telah kami lalui secara bertahap mengungkapkan tema kerinduan yang sama di dalam diri setiap anak saya. Seringkali, kegelisahan mereka berasal dari pencarian identitas dan nilai mereka dengan salah satu dari tiga cara.
1. Kesempurnaan
Tantangan dan emosi anak-anak kami dapat berasal dari pengejaran mereka yang sia-sia akan kesempurnaan. Seperti sang kakak dalam perumpamaan anak yang hilang, mereka berusaha untuk menjadi layak berdasarkan prestasi mereka. Namun, pengejaran kesempurnaan yang tidak realistis ini hanya akan menimbulkan rasa takut gagal, kebencian terhadap diri sendiri ketika mereka berhasil, dan semangat menghakimi.
Ketika kita melihat pergumulan ini pada anak-anak, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kebenaran Injil yang memerdekakan, mengingatkan mereka bahwa kesempurnaan bukanlah tempat pengharapan kita ditemukan, melainkan di dalam Yesus dan kebenaran-Nya yang sempurna. Karunia Injil bukanlah untuk orang yang sempurna; melainkan untuk mereka yang tahu bahwa mereka berdosa, memiliki kekurangan, dan membutuhkan pengampunan dan kasih karunia Yesus (Efesus 2:8-9).
Iman kepada Yesus berarti mempercayai Dia bukan hanya untuk keselamatan kita, tetapi juga karena kasih karunia-Nya yang menutupi keterbatasan dan kemanusiaan kita. Parents (dan anak-anak) dapat bersandar pada kebenaran bahwa Yesus memandang kita dengan kasih dan sayang, bukan dengan penghukuman.
2. Kemakmuran
Kemakmuran menjanjikan kebahagiaan, keamanan, kenyamanan, dan kekaguman bagi anak-anak kita. Masalahnya? Ini seperti sebuah perlombaan di mana seseorang terus bergerak menuju garis finish. Kita berusaha keras untuk mendapatkan kebahagiaan, hanya untuk menemukan bahwa kebahagiaan itu tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Terlepas dari itu, anak-anak kita tetap sangat sadar akan celana jins bekas mereka, mobil yang diterima teman mereka pada saat dia berusia 16 tahun, dan fakta bahwa “semua orang” memiliki ponsel pintar kecuali mereka.
Sekali lagi, kami memiliki hak istimewa untuk membantu anak-anak kami melihat bahwa apa pun atau berapa pun yang mereka miliki, tidak ada yang bisa memuaskan kerinduan di dalam diri mereka. Itu adalah sebuah lubang yang hanya bisa diisi oleh Tuhan sendiri. Kita bukanlah jumlah dari apa yang kita miliki.
Oleh karena itu, dalam budaya yang lebih memuja ciptaan daripada Sang Pencipta dan lebih memuja pemberian daripada Sang Pemberi, kita dapat membantu anak-anak kita untuk melihat bahwa nilai dan kebahagiaan mereka tidak akan pernah ditemukan dengan memiliki benda-benda yang terbaik. Ketika mereka menemukan identitas dan sukacita mereka di dalam Yesus di atas segalanya, mereka bebas untuk menikmati karunia-karunia yang Dia berikan, bukan menemukan nilai dan kebahagiaan di dalam diri mereka.
3. Popularitas
Rasa identitas anak-anak kita dapat terjerat dengan keinginan untuk diteguhkan oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka mendambakan dukungan dan penerimaan di antara teman sebaya, saudara kandung, rekan kerja, dan pengikut media sosial. Mereka menjadi begitu terpaku pada bagaimana mereka dipandang oleh orang lain sehingga mereka memberi orang lain kekuatan untuk menentukan nilai mereka (sebuah perjuangan yang umum terjadi pada kita semua).
Tetapi kita dapat membantu anak-anak kita belajar untuk membedakan keyakinan di balik emosi mereka. Jika kita menjelaskan bahwa keinginan untuk disayangi itu tidak salah, hanya saja salah arah, kita dapat menunjukkan kepada mereka kebenaran bahwa mereka sepenuhnya dikasihi, dikenal, dan disayangi oleh Bapa Surgawi yang mahatahu (Yesaya 49:15-16). Bukan karena betapa menyenangkan atau berbakatnya mereka, atau bagaimana mereka dibandingkan dengan orang-orang di sekitar mereka, tetapi karena mereka diciptakan dengan penuh kehebatan dan keajaiban oleh Tuhan.
Pujian dari orang lain hanya sesaat, tetapi kasih Yesus tidak bersyarat.
Hati Itu untuk Kita
Kita memiliki hak istimewa untuk belajar bersama anak-anak kita. Parents dapat berjuang untuk mengingat bahwa identitas, nilai, dan kebahagiaan kita TIDAK ditemukan di dalam diri kita sendiri atau dunia di sekitar kita. Namun, alih-alih Allah mengepalkan tangan-Nya yang marah kepada kita, kita memiliki Bapa Surgawi yang selalu memanggil kita kepada-Nya dengan tangan terbuka, rindu untuk memenuhi kita dengan sukacita, rasa aman, dan ketenangan yang hanya dapat ditemukan di dalam Dia.
Tidak peduli seberapa jauh parents (atau anak-anak) mengembara, atau seberapa terjeratnya kita dalam kesombongan kita atau mengejar kebahagiaan yang terpisah dari-Nya, Yesus siap untuk mengampuni dan menyambut kita kembali ke rumah. Sungguh suatu hadiah yang kita berikan kepada anak-anak kita untuk mengarahkan mereka kepada hati Bapa Surgawi bagi mereka. Karena, seperti yang dikatakan Jonathan Edwards, Tidak ada kasih yang begitu besar dan begitu indah seperti kasih yang ada di dalam hati Kristus.
Baca juga: