Keluarga Anton Hendrik Mengalami Semua Indah Pada Waktu-Nya

Keluarga Anton Hendrik Mengalami Semua Indah Pada Waktu-Nya

Parents pernah merasa jenuh menunggu waktu Tuhan? Doa tak kunjung terjawab. Penyakit demi penyakit tidak berhenti menyerang. Orang yang dikasihi seakan teguh tidak berubah dari karakter yang tidak sesuai kebenaran Firman Tuhan. Pekerjaan impian susah tergapai.

Atau mungkin, hanya hipotesa belaka, parents pernah merasa bisa mengatur waktu dengan segala perencanaan yang matang? Kalau rencana A gagal, ada rencana B, C, E, dan seterusnya. Sepertinya parents cukup memegang kontrol atas hidup saat ini. Ini hidupku, ini pilihanku. 

Ingat dengan ayat Firman Tuhan yang berbunyi,

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya,

bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.

Tetapi manusia tidak dapat menyelami

pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

Pengkhotbah 3:11

 

Benarkah waktu Tuhan selalu indah? Yakin parents bisa mengontrol sebagian dari kehidupan?

Keluarga Anton Hendrik menuturkan pengalaman menikmati waktu Tuhan yang selalu indah. Bahkan ketika hidup melemparkan apa yang di luar ekspektasi mereka. Ini cerita Bapak Anton Hendrik dan istri.

 

Sejak sebelum menikah, kami sudah sepakat tidak akan buru-buru punya anak. Let it flow. Tuhan akan kasih tepat pada waktunya. Apalagi saat itu kami masih bergumul menanti rumah yang belum selesai pembangunannya.

 

Waktu Tuhan memang bukan waktu manusia. Setelah menanti 1.5 tahun, saya dinyatakan hamil. Namun kehamilan itu tak berlangsung lama. Selang seminggu mengetahui kehamilan, saya harus menerima kenyataan bahwa janinnya tidak bisa bertahan. Sebuah pukulan keras buat saya dan suami. Dalam masa-masa itu kami kembali diingatkan bahwa anak bukanlah tujuan utama dalam pernikahan. Tuhan terus menguatkan hati dan ikatan kami berdua, meski belum ada kehadiran buah hati.

 

Januari 2016, Tuhan menerbitkan harapan kami dengan kehamilan kedua saya. Tapi proses awalnya jauh dari mudah. Dengan riwayat buruk di kehamilan pertama, dokter memberitahu bahwa kandungan saya memang lemah. Hidup saya di trimester pertama kehamilan dipenuhi kehati-hatian, pula kekhawatiran akankah janin yang kali ini bertahan. Bedrest demi bedrest saya lakukan. Puji Tuhan, kandungan dan bayi makin kuat di trimester kedua dan ketiga.

 

Tapi rupanya Tuhan terus mengajarkan penyerahan diri sepenuhnya hingga momen akhir kehamilan. Air ketuban saya pecah tengah malam di luar jadwal yang dokter berikan dan suami harus mengemudi sekencang-kencangnya ke RS. Sesampai di RS, dokter memutuskan saya harus menjalani caesar karena kondisi jantung si bayi tidak terlalu baik mengingat dia terlilit tali pusar dan air ketuban sudah hampir habis.

 

15 September 2016, pukul 07.07 lahirlah Luc Ezekiel Hendrik. Anak yang sejak dalam kandungan diberi kekuatan oleh Tuhan untuk bertahan (Ezekiel) dan kami berharap kehadirannya menjadi terang (Luc) di manapun dia berada.

 

Meski sudah merasa banyak sekali menyiapkan diri menjadi orangtua sebelum Luc lahir (kami bahkan sudah sering menjadi “nanny” buat keluarga sahabat kami), ternyata menjalani kehidupan sebagai orangtua sama sekali bukan hal mudah.

 

Bulan-bulan pertama menjadi Mama adalah masa-masa horor buat saya. Pergumulan memberi ASI, tuntutan sosial tentang pola pengasuhan, malam-malam begadang membuat saya didera baby blues. Bukannya tidak bersyukur dikarunia anak, tapi saya benar-benar tertekan.

 

Bersyukur masa-masa itu akhirnya berlalu. Jam tidur Luc mulai normal, kami tidak lagi begadang dan mulai menikmati peran sebagai orangtua. Dalam kondisi seperti inilah kami bersyukur Tuhan membuat kami menunggu kedatangan anak cukup lama. Dengan demikian, kami punya kesempatan yang sangat lama untuk menguatkan bonding, saling berdiskusi dan menyepakati prinsip-prinsip parenting, bahkan sebelum anak itu lahir.

 

Sebagai orangtua yang dua-duanya bekerja, pergumulan kami setiap hari adalah manajemen waktu, tenaga, dan pikiran. Apalagi kami nanny/helper-less ketika di rumah. Helper hanya membantu menjaga Luc setiap hari ketika dia ikut saya ke kantor. Pada saat pulang kantor kami ingin segera beristirahat, “baterai” Luc masih 100% dan kami harus menemaninya bermain.

 

Lelah? Jelas. Stres? Sering. Ada kalanya kami merindukan masa-masa ketika kami bisa kencan. Pernah kami mencoba escape beberapa kali saat bisa menitipkan Luc ke orangtua. Tapi lucunya, begitu sampai tempat tujuan, kami ingin pulang secepatnya dan bermain dengan si kecil.

 

Saat ini kami masih khawatir, apakah Luc bisa bertumbuh dan berkembang layaknya anak-anak sebayanya karena dia harus ikut bekerja setiap hari. Lingkungan sehari-harinya bukan bermain di rumah atau daycare dengan anak-anak lainnya. Dia lebih banyak bermain dengan om, tante, kakak-kakak.

 

Kami juga sering khawatir, apakah kami sudah maksimal memberikan perhatian kepadanya, mengingat kelelahan akibat bekerja. Dan, mungkin masih segudang lagi kekhawatiran kami. Tapi dalam pemikiran-pemikiran seperti itu, kami selalu melihat cahaya harapan yang Tuhan berikan. Perjalanan relasi (sejak pacaran) saya dan suami selama 13 tahun, perkembangan Luc sampai dia sudah berumur 2.5 tahun saat ini, membuat kami percaya bahwa Allah yang selama ini menyertai kami di masa lalu, akan menyertai kami juga sampai pada kesudahannya.

 

Saat kami bertekad melakukan pengasuhan sebaik mungkin, Tuhan ingatkan kami, bahwa kami hanyalah manusia yang penuh keterbatasan. Luc bukanlah “milik” kami. Dia adalah titipan Tuhan. Tugas kami adalah menjadi orangtua yang bertanggungjawab. Mengarahkan dia menjadi anak yang siap menjalani kehidupan di dunia ini. Selebihnya, apa yang di luar jangkauan kami adalah area kuasa Tuhan.

 

Tidak ada keluarga yang sempurna, kami pun sangat jauh dari sempurna. Namun kami sungguh-sungguh berserah pada Tuhan untuk memakai kami mendidik seorang anak yang takut akan Tuhan dan menjadi terang di manapun Tuhan tempatkan.

 

Parents pasti punya cerita sendiri tentang mengalami waktu Tuhan yang tepat dan indah.

Tulis kisah dengan komentar di bawah. Bagikan juga untuk keluarga-keluarga sahabat parents ya.