-
Kami berkali-kali berbeda pendapat dengan kakak suami tentang banyak hal. Mulai dari waktu liburan keluarga, tempat makan bersama sampai pembagian jumlah bantuan bulanan untuk orangtua. Termasuk juga debat soal kebenaran Firman TUHAN.
Menurut saya, kakak ipar ini sering keliru mencomot ayat Alkitab tanpa mempertimbangkan konteks.
Karena suami posisinya sebagai adik, maka dia selalu mengalah. Padahal tidak jarang, yang keliru itu malah kakaknya.
Bagaimana menyikapi hal ini? Kapan harus mengalah? Kapan perlu bertahan?
-
Menyimak pertanyaan Parents ini, saya, Hana Yulianik menangkap ada “ketegangan” yang dirasakan parents khususnya saat harus berhadapan dengan pola pikir Kakak Ipar, benar begitu ya?
Jika demikian, saya mengajak parents untuk mencermati beberapa hal. Tentu saja agar ketegangan itu dapat diubah menjadi ketenangan saat berinteraksi atau menghadapi Kakak Ipar.
-
Apa saja yang perlu kami cermati, Bu?
-
Pertama-tama, harus disadari bahwa: wajar jika setiap individu memiliki pola pikir berbeda yang disebabkan oleh faktor genetika dan lingkungan
sosial yang membentuknya. Dan memang kecenderungan setiap orang adalah berjalan sesuai pola pikirnya itu.Firman TUHAN pun mengungkapkan hal ini: “Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri,” (Amsal 21:2a).
Jadi jika dilihat dari kenyataan ini, maka parents bisa lebih tenang menghadapi sikap kakak ipar yang mungkin di mata parents punya tendensi “ngeyel” itu, karena sikap atau tindakannya itu sebenarnya bermula dari pola pikir tertentu yang dia yakini.
Di sisi parents pun sebenarnya demikian. Parents juga memiliki pola pikir yang berbeda sehingga sulit menerima perilaku Kakak Ipar yang bersumber pada pola pikir yang berseberangan.
-
Iya juga sih, Bu.
Memang wajar berbeda pandangan.
Meski dengan jelas kita tahu bahwa sesungguhnya kita yang benar ya...
Dari sisi Kakak Ipar, mungkin dia merasa dia yang benar, hehehe!
-
Kedua, mencoba mengaplikasikan Yakobus 1:19 yang berbunyi, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.”
“Mendengar” adalah salah satu cara yang efektif yang Firman TUHAN ajarkan agar lebih tenang, tidak mudah terpancing emosi negatif ketika berhadapan dengan orang yang berbeda pola pikir dan pendapat dengan parents.
Tentu saja “mendengar” di sini bukanlah sekedar proses dan hasil masuknya informasi ke telinga. Melainkan lebih menekankan tentang mendengarkan dengan seksama sehingga parents beroleh pengertian dan pemahaman yang tepat sehingga bisa berelasi dengan
lebih efektif. -
Mendengar sepertinya keterampilan yang perlu terus diasah ya, Bu?
Bagaimana belajar mendengar dengan lebih baik, Bu?
-
Mendengar itu berarti memiliki niat hati yang tulus untuk benar-benar ingin memahami lawan bicara.
Dengarkanlah setiap ide, pendapat dan isi hati Kakak Ipar dengan respon yang positif baik secara verbal maupun non-verbal.
Misalnya, fokuskan perhatian kepadanya dan jangan memotong ataupun menyela apa yang dikatakan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Kalaupun harus menyela, itu adalah bentuk interupsi konfirmasi dan bukan melontarkan kata-kata yang menyakiti.
Hal ini bukan berarti parents diminta untuk pasif dan mengalah secara naif, tetapi lebih pada tujuan agar pesan yang ingin dikomunikasikan Kakak Ipar itu benar-benar parents tangkap dengan tepat.
Dengarkanlah dia dengan pikiran yang terbuka, jangan ada prasangka tertentu. Itu sebabnya setelah Kakak Ipar selesai mengatakan sesuatu, parents harus menyampaikan ulang apa inti pesan yang baru saja disampaikan oleh Kakak Ipar, untuk memastikan tidak ada kesalahpahaman arti atau maksud.
-
Mendengar untuk memahami.
Lalu apa lagi, Bu?
-
Mendengar itu berarti bersedia memproses apa yang didengar tadi dengan tenang dan berpikir dengan kepala yang dingin sebelum memberikan respon.
Proses ini penting untuk menghindarkan parents dari perasaan-perasaan sensitif terhadap apa yang Kakak Ipar sampaikan.
Proses ini bisa berjalan cepat atau malah membutuhkan waktu tertentu. Ini bergantung pada kondisi emosional parents. Seandainya parents membutuhkan waktu untuk cooling down, komunikasikan hal ini dengan baik supaya suasana tetap terkendali dengan baik.
-
Mendengar itu memproses.
Wah ini sangat baik, sayang saya gagal di tahap ini.
-
Mendengar itu berarti mau menempatkan diri pada posisi lawan bicara.
Meskipun parents tidak setuju dengan apa yang diutarakan oleh Kakak Ipar, tetapi cobalah untuk berada di posisinya agar bisa lebih memahami apa yang sebenanya dia butuhkan.
Mungkin melalui pendapatnya itu dia hanya butuh pengakuan atau aktualisasi diri atau memang karena wawasannya masih hanya sebatas itu.
Dengan memahami posisinya, maka parents lebih bisa mengalokasikan energi untuk mencari solusi. Sayang kan kalau energi itu habis karena tersulut emosi hanya karena ketidaksepahaman pendapat?
-
Mendengar berarti menempatkan posisi sebagai lawan bicara.
Oke terima kasih, Bu.
Saya akan mencoba mengasah keterampilan ini.
-
Eh, tunggu dulu, setelah parents memiliki gambaran tentang bagaimana menjadi “pendengar yang baik”, mari beranjak ke poin ketiga tentang mengubah ketegangan menjadi ketenangan saat berbeda pendapat dengan Kakak Ipar:
-
Oh, masih ada poin ketiga...
Apa nih, Bu?
-
Ketiga, memenangkan atau menaklukkan pola pikir lawan bicara.
Setelah mengetahui bahwa kecenderungan manusia bertindak sesuai pola pikirnya, lalu belajar bagaimana mendengar dengan baik dan benar, sekarang waktunya memenangkan atau menaklukkan pola pikir Kakak Ipar.
Nah untuk bisa memenangkan pola pikir, parents harus terlebih dahulu bisa memenangkan hatinya (Dalam bahasa Jawa: ngepek ati atau mengambil hati).
Amsal 11:30 mengatakan bahwa “Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang.”
Seringkali ketika parents berseberangan dengan perasaan dan hati orang lain, biasanya akan sulit mempengaruhi pola pikirnya meskipun tahu bahwa dia salah.
Kalau Parents harus menyatakan pola pikir yang benar kepada Kakak Ipar, mengapa tidak mencoba memenangkan hatinya terlebih dahulu? Karena sikap itu ternyata berdampak cukup efektif seperti yang pernah terjadi di
Kisah Para Rasul 24:27. "Tetapi sesudah genap dua tahun, Feliks digantikan oleh Perkius Festus, dan untuk mengambil hati orang Yahudi, ia membiarkan Paulus tetap dalam penjara."Bayangkan, untuk hal yang tidak benar saja orang dengan mudah dipengaruhi melalui cara memenangkan hati. Apalagi kalau parents tahu bahwa ada hal benar dan prinsip yang seharusnya dinyatakan kepada Kakak Ipar. Tentu perlu berjuang memenangkan hati untuk menyampaikan hal yang benar itu, bukan?
Saya yakin kalau hati Kakak Ipar sudah parents menangkan, akan terbuka jalan bagi terciptanya diskusi yang lebih nyaman untuk mencari solusi. Entah itu terkait dengan waktu liburan keluarga, tempat makan bersama sampai pembagian jumlah bantuan bulanan untuk orangtua, bahkan diskusi tentang soal kebenaran Firman TUHAN.
-
Ternyata sepenting itu mengambil hati ya, Bu...
-
Jangan lupa, parents harus mengkomunikasikan apa yang saya sampaikan ini dengan pasangan.
Pastikan parents sepakat dengan suami dalam menyikapi perbedaan dengan Sang Kakak Ipar.
Harapan saya adalah supaya apa yang disampaikan oleh Rasul Paulus kepada jemaat Korintus juga terealisasi dalam kehidupan keluarga parents.
“Supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan.” (1 Korintus
12:25).Tuhan Yesus Memberkati!
-
Terima kasih banyak, Bu.
Tuhan Yesus memberkati.