Bagaimana Menolak Melakukan Tradisi dan Adat Yang Tidak Sesuai Kebenaran Alkitab?

Bagaimana Menolak Melakukan Tradisi dan Adat Yang Tidak Sesuai Kebenaran Alkitab?
  • Ada begitu banyak kebiasaan sepertinya janggal untuk dilakukan orang Kristen.
    Tapi kami tetap melakukannya tanpa benar-benar mengerti maknanya.
    Hanya saja hati ini selalu bertanya-tanya apa ini benar untuk diikuti atau tidak.

    Misalnya peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1.000 hari setelah kematian.
    Begitu juga dengan menanam ari-ari di depan rumah, membuang gigi ke atas genteng, melempar popok ke sungai, dan lain-lain.

    Baru saja seorang sahabat menegur kami cukup keras.
    Dia berkata banyak sekali tradisi yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.
    Itu tidak boleh dilakukan.

    Kami ingin melakukan apa yang benar.
    Tapi kami berada di lingkungan yang cukup kental memegang kebiasaan seperti itu.

    Bagaimana menolak melakukan tradisi dan adat yang tidak sesuai kebenaran Alkitab?

  • Setiap orang merupakan produk kultural.

    Maksud saya, Pdt Yakub Tri Handoko, setiap orang berada dalam suatu budaya dan dibentuk oleh budaya itu. Tidak ada satupun yang benar-benar kebal terhadap pengaruh budaya, entah baik atau buruk.

    Dalam banyak hal pemikiran, perasaan, dan tindakan setiap orang pasti mencerminkan budayanya. Jadi, menghindari pengaruh budaya merupakan sebuah kemustahilan.

  • Tak terhindarkan ya?

    Benar juga sih, Pak.

    Lalu bagaimana kami sebagai orang Kristen menyikapi budaya?

  • Untuk menjawab pertanyaan itu secara memadai, parents perlu memahami perspektif Kristiani tentang kebudayaan secara umum terlebih dahulu.

    Berdasarkan perspektif yang umum tadi kita baru akan melihat kasus per kasus.

  • Apa pandangan kristiani ttg kebudayaan, Pak?

  • Relasi antara kekristenan dan kebudayaan merupakan salah satu isu yang sudah lama dibicarakan oleh para pemikir Kristen. Respons mereka cukup beragam. Semua respons itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori.

  • Oh ada 3 pandangan ya...

    Apa saja, Pak?

  • Pertama, sikap negatif.

    Mereka menganggap kebudayaan dicemari oleh dosa. Merengkuh budaya berarti merengkuhnya bersama-sama dengan semua kecemaran di dalamnya. Kebudayaan adalah musuh iman.

    Pandangan ini mendorong orang-orang yang mempercayainya sebisa mungkin menjauhi budaya. Mereka mengisolasi diri dari dunia.

  • Apa bisa ya sampai mengisolasi diri dari budaya, Pak?

    Bukankah itu mustahil?

  • Sikap itu jelas keliru. Mengisolasi diri dari dunia adalah tindakan yang mustahil dan tidak Alkitabiah.

    Mustahil, karena parents memang tidak mungkin lepas dari budaya. Contoh yang paling sederhana adalah cara berpakaian. Pakaian adalah produk budaya. Binatang tidak berpakaian dan tidak bisa menciptakan pakaian, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk berbudaya. Model pakaian yang parents kenakan setiap hari juga merupakan produk budaya. Parents mengikuti model tertentu atau nyaman mengenakan jenis kain tertentu.

    Selain mustahil, sikap di atas juga tidak Alkitabiah. Tuhan Yesus mengutus orang-orang Kristen ke dalam dunia (Yoh. 17:18). Dia tidak meminta kepada Bapa-Nya agar orang-orang Kristen diambil dari dunia (Yoh. 17:15). Tugas parents memang di dunia. Ini berarti bahwa dalam taraf tertentu parents memang perlu bersentuhan dengan budaya.

  • Setuju, Pak.

    Penjelasan yang baik.

  • Bentuk lain dari sikap negatif terhadap budaya adalah konfrontasional.

    Beberapa orang Kristen gencar memerangi budaya. Yang dilakukan adalah menunjukkan kebobrokan budaya yang ada. Beberapa bahkan menggunakan kekuatan tertentu (politik, senjata, ekonomi, dsb) untuk menegakkan sebuah budaya Kristen yang akan menggantikan budaya setempat.
     

  • Oh ini termasuk negatif ya, Pak?

    Saya kira ini sesuatu yang mulia.

  • Walaupun sekilas terlihat mulia, usaha ini perlu dikaji ulang dengan seksama.

    Memerangi budaya seringkali berujung pada memerangi orang-orang yang ada di dalamnya. Tanpa disadari target serangan telah bergeser.

    Orang-orang Kristen akhirnya menghindari interaksi dengan orang-orang dunia. Ini jelas sangat disayangkan.

    Di samping itu, Alkitab tidak pernah mengajarkan tentang kebudayaan Kristen. Tidak ada yang disebut “budaya Kristen.”

    Tugas parents hanyalah merembeskan nilai-nilai kerajaan Allah (keadilan, belas kasihan, kedamaian, sukacita, dsb) di tengah-tengah dunia. Kemasan yang dimunculkan bisa bermacam-macam, tergantung budaya setempat.

  • Iya, tidak ada budaya Kristen sih ya...

  • Kedua, sikap akomodatif.

    Sebagian orang Kristen memilih untuk merengkuh budaya di sekitar mereka. Mereka terlihat kontekstual (sesuai budaya yang ada).

  • Apa ini sesuatu yang benar, Pak?

  • Wujud dari sikap akomodatif ini cukup beragam. Yang penting, secara sekilas mereka tidak berbeda dengan orang-orang dunia.

    Ada yang mengambil seluruhnya, termasuk praktek hidup yang menyimpang dari Alkitab.

    Ada yang menjauhi tindakan-tindakan yang “jelas-jelas berdosa”, tetapi tanpa sadar mengadopsi cara berpikir dunia yang materialisme, konsumerisme dan hedonisme.

  • Ini bukan melakukan perubahan malah ikut arus ya, Pak?

  • Alkitab jelas menentang sikap ini.

    Paulus menasihati jemaat di Roma agar jangan menjadi serupa dengan dunia (Rm. 12:2a). Ini bukan hanya masalah praktek hidup (tindakan), tetapi juga cara berpikir. Karena itu Paulus juga menambahkan: “tetapi berubahlah oleh pembaruan (akal) budimu” (Rm. 12:2b).

    Tuhan Yesus mengingatkan untuk tidak kehilangan rasa asin di tengah dunia (Mat. 5:13). Jangan sampai parents tidak berbeda dengan dunia.
     

  • Iya, tidak boleh sama dengan dunia ya, Pak.

  • Ketiga, sikap realistis - transformatif.

    Sikap ini ditandai dengan kesadaran bahwa parents akan selalu berada di dalam budaya. Tidak ada cara untuk menghindarinya.

    Parents realistis saja. Namun, pada saat yang bersamaan parents membawa perubahan dari dalam. Parents tidak berperang dari luar secara konfrontatif. Parents bernegosiasi dan bergerilya dari dalam.

    Kebenaran tidak dikompromikan, tetapi juga tidak dipaksakan.
     

  • Wah sepertinya ini yang paling tepat ya, Pak?

  • Ilustrasi yang tepat mungkin adalah ragi (Mat. 13:33).

    Bukankah ragi tidak akan berguna jika tidak dicampur dengan adonan?

    Demikian pula dengan orang-orang Kristen yang tidak mau masuk ke tengah-tengah dunia dan merengkuh orang-orang yang ada di dalamnya.

    Sama seperti ragi, peranan parents mungkin tidak langsung terlihat dari luar.

    Seperti ragi, parents membaur dengan yang lain tanpa menghilangkan jati diri.

    Layaknya ragi, parents membawa perubahan pada adonan secara keseluruhan.

    Bagai ragi, parents membuat adonan itu menjadi lebih enak untuk dinikmati.
     

  • Nah benar kan, memang ini sikap yang paling tepat.

  • Yesus Kristus juga menunjukkan sikap realistis transformatif.

    Dia bukan hanya sahabat orang berdosa, tetapi juga penyelamat orang berdosa.

    Dia tidak menunggu untuk ditemui.

    Dia datang dan mencari (Luk. 19:10).

    Gereja juga perlu melakukan hal yang sama.
     

  • Kembali lagi, Pak, bolehkah orang Kristen mengikuti tradisi-tradisi tertentu yang terkesan janggal dari perspektif Kristiani?

  • Untuk menjawab isu ini dengan tepat dan bijak, parents perlu mempertimbangkan tiga hal: pemaknaan, batu sandungan, dan kegunaan.

  • Pemaknaan, batu sandungan dan kegunaan?

    Maksudnya seperti apa, Pak?

  • Yang pertama adalah pemaknaan.

    Hampir setiap praktek kultural dilandasi dengan pemikiran tertentu. Apa yang dilakukan merupakan ekspresi dari sebuah pemikiran. Walaupun apa yang dilakukan pada dirinya sendiri mungkin tidak salah, tetapi pemikiran di dalamnya tetap bisa salah.

    Parents perlu mengevaluasi praktek maupun maknanya. Dalam banyak hal, keduanya tidak terpisahkan.

  • Kita coba melihat dari kasus peringatan 40 hari kematian ya, Pak?

  • Dalam kasus peringatan 40 hari kematian, parents perlu memahami pemikiran di baliknya.

    Mengapa dipilih angka 40? Kebiasaan ini bisa bersumber dari banyak tradisi. Salah satunya yang paling memungkinkan adalah ajaran Kejawen. Penganut ajaran ini percaya bahwa arwah orang mati tidak langsung pergi ke alam baka. Roh itu masih berkeliaran di rumah selama 40 hari.

    Sebagian orang Kristen mencoba menambahkan dukungan Alkitab terhadap pemikiran di atas. Mereka berpendapat bahwa setelah kematian-Nya, Yesus Kristus juga tidak langsung naik ke sorga. Dia menampakkan diri kepada murid-murid-Nya selama 40 hari.
     

  • Lho bukankah ini keliru ya, Pak?

  • Pemaknaan seperti ini tidak Alkitabiah.

    Roh orang yang mati tidak bergentangan di dunia. Mereka langsung menuju ke sorga atau neraka.

    Catatan Alkitab tentang hal ini cukup melimpah dan sangat konsisten. Penyamun di sisi Tuhan Yesus dijanjikan akan berada di firdaus pada hari itu juga (Luk. 23:43). Istilah “firdaus” di sini merujuk pada sorga (2 Kor. 12:1-6; Why. 2:7).

    Paulus menyamakan “mati” dengan “diam bersama dengan Kristus” (Flp. 1:21-24). Di tempat lain dia mengajarkan bahwa kalau kita nanti mati, “kita memiliki kediaman dari Allah” (terjemahan hurufiah, 2 Kor. 5:1).

    Menjelang kematiannya Stefanus berkata: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis. 7:59).
     

  • Bagaimana dengan pembelaan mereka soal penampakan Yesus selama 40 hari, Pak?

  • Catatan Alkitab ini tidak bisa dijadikan pembenaran bagi peringatan 40 hari.

    Kesamaan yang ada bersifat superfisial (hanya di permukaan), misalnya kematian dan 40 hari.

    Perbedaan yang ada justru lebih fundamental.

    Selama 40 hari Yesus Kristus menampakkan diri dalam bentuk tubuh kemuliaan (Luk. 24:39). Bukan hanya jiwa atau roh-Nya saja. Lagipula, selama 40 hari Yesus Kristus menuntaskan misi khusus: meyakinkan banyak orang tentang kebangkitan-Nya dan memberitakan kerajaan Allah (Kis. 1:3b). Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus merupakan tindakan yang unik. Hanya berlaku untuk dan bisa dilakukan oleh Dia saja.

  • Ternyata itu hanya Cocoklogi atau Gatukisme ya, Pak?

    Hehehe!

    Ilmu mencocokkan atau menggatukkan...

  • Yang kedua adalah batu sandungan.

    Etika Kristen bukan hanya berbicara tentang benar atau salah.

    Walaupun suatu tindakan benar, hal itu belum tentu boleh dilakukan, jika itu menimbulkan batu sandungan bagi orang lain (1 Kor. 8:13; 10:29-32).

  • Jadi bagaimana menerapakan hal ini, Pak?

  • Prinsip itu seharusnya dilakukan dua arah.

    Maksudnya, parents harus memperhatikan hati nurani orang Kristen maupun non-Kristen. Jangan sampai tindakan parents menimbulkan syak di hati mereka.

    Nah, dalam kasus peringatan 40 hari setelah kematian, apakah orang-orang luar akan merasa syak apabila parents tidak merayakannya? Jika tidak, mengapa kita perlu bersusah-payah mengadakannya? Toh mereka juga tidak akan menganggap hal itu terlalu serius.

    Jika iya, mengapa mereka merasa syak?

    Apakah karena parents dianggap kurang menghargai almarhum(ah)?

    Jika ini yang dipikirkan mereka, parents bisa mempertimbangkannya.

    Ada solusi untuk keberatan seperti ini. Sebagai contoh, parents menjadi orang yang paling rajin merawat almarhum(ah) selama beliau masih hidup dulu atau parents menjadi orang yang paling sibuk mengurusi persemayaman dan penguburan beliau. Apabila orang-orang lain sudah melihat kasih dan pengorbanan parents yang besar, mereka tidak akan mempersoalkan pada waktu parents tidak memperingati 40 hari atau 1000 hari setelah kematian.

    Opsi lain yang dapat ditempuh adalah tetap mengadakan peringatan, tetapi tidak dibatasi oleh hari-hari tertentu. Parents dapat mengadakan pertemuan kapan saja untuk mengenang dan belajar sesuatu dari kehidupan beliau.

    Parents juga dapat memaksimalkan momen itu untuk mengajak banyak orang untuk memikirkan kehidupan dan kematian secara serius serta memberitakan Yesus Kristus sebagai solusi bagi persoalan fundamental manusia (penderitaan, kejahatan dan kematian) dan bagi pergumulan eksistensial manusia (penghargaan, pengakuan, kasih sayang, pengampunan, dsb).

  • Wah lengkap dengan solusi nyata!

    Lalu bagaimana dengan pertimbangan tentang kegunaan, Pak?

  • Yang ketiga adalah kegunaan.

    Paulus mengajarkan bahwa sesuatu yang diperbolehkan bukan berarti hal itu berguna (1 Kor. 6:12).

    Sebagai orang-orang percaya parents perlu mengupayakan hal-hal yang membawa faedah bagi orang lain (1 Kor. 10:23). Berfaedah di sini dalam arti membangun. Apa saja yang parents lakukan jangan cuma didasarkan pada boleh atau tidak boleh.
     

  • Iya, biar tidak sama dengan kepercayaan lain yang hanya menekankan boleh atau tidak boleh ya, Pak?

  • Prinsip ini sangat relevan juga dengan isu tradisi yang sedang kita bahas.

    Misalnya, jika parents hanya mengadakan peringatan 40 atau 1000 hari seperti orang-orang lain pada umumnya, manfaat apa yang diperoleh oleh orang lain? Tentu saja tidak ada.

    Mereka justru mungkin akan menangkap kesan yang keliru tentang kekristenan. Kekristenan bisa dianggap agama yang sinkretis (mencampuradukkan beberapa keyakinan sekaligus). Dengan demikian kesaksian Kristiani malah bisa dipertaruhkan.

  • Sepertinya pandangan realistis - transformatif dan 3 pertimbangan untuk menjawab kasus per kasus ini bisa diterapkan pada tradisi lain ya, Pak?

  • Uraian di atas memang lebih banyak dikaitkan dengan tradisi peringatan hari-hari tertentu setelah kematian. Namun, prinsip yang ada dapat diterapkan pada berbagai tradisi lainnya.

    Parents perlu mengevaluasi apakah tradisi-tradisi tersebut benar atau salah. Setelah itu parents memikirkan apakah tradisi-tradisi itu dapat menjadi batu sandungan untuk orang lain. Terakhir, parents menanyakan apakah tradisi-tradisi itu membawa faedah bagi orang lain.

    Soli Deo Gloria.